Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi

1.1  Latar Belakang
Perubahan persepsi adalah ketidakmampuan manusia dalam membedakan antara rangsang yang timbul dari sumber internal seperti pikiran, perasaan, sensasi somatic dengan impuls dan stimulus eksternal. Dengan maksud bahwa manusia masih mempunyai kemampuan dalam Membandingkan mana yang merupakan respon dari dirinya.


Halusinasi merupakan respon persepsi paling maladapatif. Jika klien sehat, persepsinya akurat, mampu mengidentifikasi dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indra (pendengaran, penglihatan, penghidupan, pengecapan, dan perabaan), sedangkan klien dengan halusinasi mempersepsikan suatu stimulus pasca indra walaupun sebenarnya stimulus itu tidak ada.
Halusinasi adalah pencerapan tanda adanya rangsang apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikotik, ataupun histerik. (Maramis, 2005).
Salah satu penyebab seseorang mengalami gangguan jiwa karena adanya stress psikososial. Pelayanan perawatan kesehatan jiwa bukan hanya di tunjukan kepada klien dengan gangguan jiwa tetapi juga dapat ditujukan kepada semua orang dan lapisan masyarakat agar tercapai sehat mental dan hidup secara produktif.
1.2 Tujuan Umum
Memperoleh gambaran tentang penerapan asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa dengan masalah utama halusinasi
1.3 Tujuan Khusus
Mengetahui dan membandingkan gejala-gejala awal yang terpenting, penanganan dan asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami gangguan jiwa dengan masalah utama halusinasi.

Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi


TINJAUAN PUSTAKA

A.     Pengertian
Varcarolis mendefinisikan halusinasi sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat simulus (Yosep, 2009). Menurut Stuart dan Sundeen's (2004) mendefinisikan halusinasi sebagai “hallucinations are defined as false sensory impressions or experiences”. Arti dari kalimat di atas, Stuart dan Sundeen’s mendefinisikan halusinasi sebagai bayangan palsu atau pengalaman indera.
Halusinasi ialah pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indera seorang pasien, yang terjadi dalam kehidupan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, fungsional, psikopatik ataupun histerik (Maramis, 2005). Kemudian Sunaryo (2004) menjelaskan bahwa halusinasi merupakan bentuk kesalahan pengamatan tanpa pengamatan objektivitas penginderaan dan tidak disertai stimulus fisik yang adekuat.
B.     Klasifikasi
Pada klien dengan gangguan jiwa ada beberapa jenis halusinasi dengan karakteristik tertentu, diantaranya:
1.   Halusinasi dengar (akustik, auditorik), pasien itu mendengar suara yang membicarakan, mengejek, menertawakan, atau mengancam padahal tidak ada suara di sekitarnya.
2.        Halusinasi lihat (visual), pasien itu melihat pemandangan orang, binatang atau sesuatu yang tidak ada.
3.      Halusinasi bau / hirup (olfaktori). Halusinasi ini jarang di dapatkan. Pasien yang mengalami mengatakan mencium bau-bauan seperti bau bunga, bau kemenyan, bau mayat, yang tidak ada sumbernya.
4.     Halusinasi kecap (gustatorik). Biasanya terjadi bersamaan dengan halusinasi bau / hirup. Pasien itu merasa (mengecap) suatu rasa di mulutnya.
5.    Halusinasi singgungan (taktil, kinaestatik). Individu yang bersangkutan merasa ada seseorang yang meraba atau memukul. Bila rabaab ini merupakan rangsangan seksual halusinasi ini disebut halusinasi heptik.
C.     Etiologi
Menurut Mary Durant Thomas (1991), Halusinasi dapat terjadi pada klien dengan gangguan jiwa seperti skizoprenia, depresi atau keadaan delirium, demensia dan kondisi yang berhubungan dengan penggunaan alkohol dan substansi lainnya. Halusinasi adapat juga terjadi dengan epilepsi, kondisi infeksi sistemik dengan gangguan metabolik. Halusinasi juga dapat dialami sebagai efek samping dari berbagai pengobatan yang meliputi anti depresi, anti kolinergik, anti inflamasi dan antibiotik, sedangkan obat-obatan halusinogenik dapat membuat terjadinya halusinasi sama seperti pemberian obat diatas. Halusinasi dapat juga terjadi pada saat keadaan individu normal yaitu pada individu yang mengalami isolasi, perubahan sensorik seperti kebutaan, kurangnya pendengaran atau adanya permasalahan pada pembicaraan. Penyebab halusinasi pendengaran secara spesifik tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhinya seperti faktor biologis , psikologis , sosial budaya,dan stressor pencetusnya adalah stress lingkungan , biologis , pemicu masalah sumber-sumber koping dan mekanisme koping.
D.    Proses Terjadinya Halusinasi
Halusinasi pendengaran merupakan bentuk yang paling sering dari gangguan persepsi pada klien dengan gangguan jiwa (schizoprenia). Bentuk halusinasi ini bisa berupa suara – suara bising atau mendengung. Tetapi paling sering berupa kata – kata yang tersusun dalam bentuk kalimat yang mempengaruhi tingkah laku klien, sehingga klien menghasilkan respons tertentu seperti : bicara sendiri, bertengkar atau respons lain yang membahayakan. Bisa juga klien bersikap mendengarkan suara halusinasi tersebut dengan mendengarkan penuh perhatian pada orang lain yang tidak bicara atau pada benda mati.
Halusinasi pendengaran merupakan suatu tanda mayor dari gangguan schizoprenia dan satu syarat diagnostik minor untuk metankolia involusi, psikosa mania depresif dan syndroma otak organik.
E.     Psikopatologi
Psikopatologi dari halusinasi yang pasti belum diketahui. Banyak teori yang diajukan yang menekankan pentingnya faktor-faktor psikologik, fisiologik dan lain-lain. Ada yang mengatakan bahwa dalam keadaan terjaga yang normal otak dibombardir oleh aliran stimulus yang yang datang dari dalam tubuh ataupun dari luar tubuh. Input ini akan menginhibisi persepsi yang lebih dari munculnya ke alam sadar.Bila input ini dilemahkan atau tidak ada sama sekali seperti yang kita jumpai pada keadaan normal atau patologis, maka materi-materi yang ada dalam unconsicisus atau preconscious bisa dilepaskan dalam bentuk halusinasi.
Pendapat lain mengatakan bahwa halusinasi dimulai dengan adanya keinginan yang direpresi ke unconsicious dan kemudian karena sudah retaknya kepribadian dan rusaknya daya menilai realitas maka keinginan tadi diproyeksikan keluar dalam bentuk stimulus eksterna.
F.      Tanda dan Gejala
Pasien dengan halusinasi cenderung menarik diri, sering di dapatkan duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu, tersenyum atau bicara sendiri, secara tiba-tiba marah atau menyerang orang lain, gelisah, melakukan gerakan seperti sedang menikmati sesuatu. Juga keterangan dari pasien sendiri tentang halusinasi yang di alaminya (apa yang di lihat, di dengar atau di rasakan).
G.    Faktor-Faktor Penyebab Halusinasi
1.        Faktor predisposisi.
Adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Diperoleh baik dari pasien maupun keluarganya, mengenai factor perkembangan sosial kultural, biokimia, psikologis dan genetik yaitu factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.

a.         Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
b.        Faktor Sosiokultural
Berbagai faktor dimasyarakat dapat menyebabkan seorang merasa disingkirkan oleh kesepian terhadap lingkungan tempat klien di besarkan.
c.         Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Dengan adanya stress yang berlebihan dialami seseorang maka didalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase (DMP).
d.        Faktor Psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta adanya peran ganda yang bertentangan dan sering diterima oleh anak akan mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir dengan gangguan orientasi realitas.
e.       Faktor genetik
Gen apa yang berpengaruh dalam skizoprenia belum diketahui, tetapi hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
2.        Faktor Presipitasi
Yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan, ancaman /tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk koping. Adanya rangsang lingkungan yang sering yaitu seperti partisipasi klien dalam kelompok, terlalu lama diajak komunikasi, objek yang ada dilingkungan juga suasana sepi / isolasi adalah sering sebagai pencetus terjadinya halusinasi karena hal tersebut dapat meningkatkan stress dan kecemasan yang merangsang tubuh mengeluarkan zat halusinogenik.
3.        Perilaku
       Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, prilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 mencoba memecahkan masalah halusinasi berlandaskan atas hakekat keberadaan seorang individu sebagai mahkluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psiko-sosio-spiritual sehingga halusinasi dapat dilihat dari dimensi yaitu :
a.         Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsang eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b.        Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap ketakutan tersebut.
c.         Dimensi Intelektual
Dalam dimensi intelektual ini menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tak jarang akan mengontrol semua prilaku klien.
d.        Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu dengan halusinasi menunjukkan adanya kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan sistem control oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusakan klien tidak menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
e.         Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Pada individu tersebut cenderung menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi, individu tidak sadar dengan keberadaannya dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat halusinasi menguasai dirinya individu kehilangan kontrol kehidupan dirinya.
4.        Sumber Koping
Suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan anxietas dengan menggunakan sumber koping dilingkungan. Sumber koping tersebut sebagai modal untuk menyelesaikan masalah, dukungan sosial dan keyakinan budaya, dapat membantu seseorang mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan mengadopsi strategi koping yang berhasil.
5.        Mekanisme Koping
Tiap upaya yang diarahkan pada pelaksanaan stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri.
H.    Tahapan Halusinasi, Karakteristik Dan Perilaku Yang Ditampilkan
Tahap I
a.          Memberi rasa nyaman tingkat ansietas sedang secara umum, halusinasi merupakan suatu kesenangan.
b.        Mengalami ansietas, kesepian, rasa bersalah dan ketakutan.
c.         Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan ansietas
d.        Fikiran dan pengalaman sensori masih ada dalam kontol kesadaran, nonpsikotik.
e.         Tersenyum, tertawa sendiri
f.          Menggerakkan bibir tanpa suara
g.         Pergerakkan mata yang cepat
h.         Respon verbal yang lambat
i.           Diam dan berkonsentrasi
Tahap II
a.          Menyalahkan
b.        Tingkat kecemasan berat secara umum halusinasi menyebabkan perasaan antipati
c.          Pengalaman sensori menakutkan
d.         Merasa dilecehkan oleh pengalaman sensori tersebut
e.          Mulai merasa kehilangan kontrol
f.           Menarik diri dari orang lain non psikotik
g.          Terjadi peningkatan denyut jantung, pernafasan dan tekanan darah
h.          Perhatian dengan lingkungan berkurang
i.            Konsentrasi terhadap pengalaman sensori kerja
j.           Kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dengan realitas
Tahap III
a.          Mengontrol
b.        Tingkat kecemasan berat
c.          Pengalaman halusinasi tidak dapat ditolak lagi
d.         Klien menyerah dan menerima pengalaman sensori (halusinasi)
e.          Isi halusinasi menjadi atraktif
f.           Kesepian bila pengalaman sensori berakhir psikotik
g.          Perintah halusinasi ditaati
h.          Sulit berhubungan dengan orang lain
i.            Perhatian terhadap lingkungan berkurang hanya beberapa detik
j.           Tidak mampu mengikuti perintah dari perawat, tremor dan berkeringat
Tahap IV
a.          Klien sudah dikuasai oleh halusinasi
b.         Klien panik
 Pengalaman sensori mungkin menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah halusinasi, bisa berlangsung dalam beberapa jam atau hari apabila tidak ada intervensi terapeutik.
c.         Perilaku panik
d.        Resiko tinggi mencederai
e.         Agitasi atau kataton
f.          Tidak mampu berespon terhadap lingkungan
I.       Asuhan Keperawatan
Pengkajian merupakan tahapan awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data meliputi data biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien.
Berbagai aspek pengkajian sesuai dengan pedoman pengkajian umum, pada formulir pengkajian proses keperawatan. Pengkajian meliputi beberapa faktor antara lain :
1.        Identitas klien dan penanggung yang perlu dikaji yaitu: nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, status, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
2.        Alasan masuk rumah sakit
Umumnya klien halusinasi di bawa ke rumah sakit karena keluarga merasa tidak mampu menawat, terganggu karena perilaku klien dan hal lain, gejala yang dinampakkan di rumah sehingga klien dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan.
3.         Faktor Predisposisi
4.        Pemeriksaan Fisik
Yang dikaji adalah tanda‑tanda vital (suhu, nadi. pernafasan dan tekanan darah), berat badan, tinggi badan serta keluhan fisik yang dirasakan klien.
5.        Psikososial
Yang dikaji adalah genogram, konsep diri ( citra tubuh, identitas, peran, ideal diri, harga diri), hibingan social (orang terdekat, peran serta dalam kelompok/ masyarakat, hambatan dalam berhubungan dengan orang lain) dan spiritual (nilai keyakinan dan kegiatan ibadah)
6.        Status Mental
Pengkajian pada status mental meliputi :
a.    Penampilan : tidak rapi, tidak serasi dan cara berpakaian.
b.    Pembicaraan: terorganisir atau berbelit‑belit.
c.    Aktivitas motorik: meningkat atau menurun.
d.    Alam perasaan suasana hati dan emosi.
e.    Afek: sesuai atau maladaptif seperti tumpul, datar, dan ambivlen.
f.      Interaksi selama wawancara: respon verbal dan nonverbal.
g.    Persepsi : ketidakmampuan menginterpretasikan stimulus yang ada sesuai dengan informasi.
h.    Proses pikir : proses informasi yang diterima tidak berfungsi dengan baik dan dapat mempengaruhi , proses pikir.
i.      Isi pikir: berisikan keyakinan berdasarkan penilaian realistis.
j.      Tingkat kesadaran: orientasi waktu, tempat dan orang.
k.    Memori
·        Memori jangka panjang : mengingat peristiwa setelah lebih setahun berlalu.
·        Memori jangka pendek : mengingat peristiwa seminggu yang lalu dan pada saat dikaji.
l.      Kemampuan konsentrasi dan berhitung : kemampuan menyelesaikan tugas dan berhitung sederhana.
m.  Kemampuan penilaian : apakah terdapat ringan sampai berat.
n.    Daya tilik diri : kemampuan dalam mengambil keputusan tentang diri. Kebutuhan persiapan pulang : yaitu pola aktifitas sehari‑hari termasuk makan dan minum, BAB dan BAK, istirahat tidur, perawatan diri, pengobatan dan pemeliharaan kesehatan serta aktifitas dalam dan luar ruangan.
Rencana Tindakan Keperawatan Pada Klien Halusinasi
1.     Klien
a.       Tujuan
Klien mampu : mengenali halusinasi yang dialaminya, mengontrol halusinasinya, dan mengikuti program pengobatan secara optimal.
b.      Kriteria evaluasi
·        SP. 1
Klien dapat menyebutkan isi, waktu, frekuensi, situasi pencetus, perasaan dan mampu memperagakan cara mengontrol halusinasi dengan cara menghardik.
·        SP. 2
Klien dapat menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu memperagakan cara bercakap-cakap dengan orang lain.
·        SP. 3
Klien mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu membuat jadwal kegiatan sehari-hari serta mampu memperagakannya.
·        SP. 4
Klien mampu menyebutkan kegiatan apa saja yang sudah dilakukan dan mampu menyebutkan manfaat dari program pengobatan.
c.       Intervensi
SP. 1
1)      Bantu klien mengenal halusinasinya :
·        Isi;
·        Waktu terjadinya;
·        Frekuensi;
·        Situasi pencetus;
·        Perasaan saat terjadi halusinasi.
2)      Latih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik halusinasi, tahapan tindakannya meliputi :
·        Jelaskan cara menghardik halusinasi;
·        Peragakan cara menghardik;
·        Minta klien memperagakan ulang;
·        Pantau penerapan cara ini, beri penguatan perilaku klien;
·        Masukkan dalam jadwal kegiatan sehari-hari.
SP. 2 P
1)        Evaluasi kegiatan yang lalu (SP. 1 P);
2)        Latih berbicara atau bercakap-cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul;
3)        Masukkan dalam jadwal kegiatan klien.
SP. 3 Pasien
1)        Evaluasi kegiatan yang lalu (SP. 1 P dan SP. 2 P);
2)        Latih melakukan kegiatan terjadual agar halusinasi tidak muncul, tahapannya :
·        Jelaskan pentingnya aktivitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi;
·        Diskusikan akitvitas yang biasa dilakukan klien
·        Latih klien melakukan aktivitas;
·        Susun jadwal aktivitas yang telah dilatih dari bangun pagi sampai tidur malam;
·        Pantau pelaksanaan jadwal kegiatan, berikan pujian terhadap perilaku klien yang positif.
3)        Masukkan dalam jadwal kegiatan klien.
SP. 4 Pasien
1)        Evaluasi kegiatan yang lalu (SP. 1 P, SP. 2 P, dan SP. 3 P);
2)        Tanyakan program pengobatan;
3)        Jelaskan pentingnya penggunaan obat pada penderita gangguan jiwa;
4)        Jelasakn akibat bila tidak digunakan sesuai program
5)        Jelaskan akibat bila putus obat;
6)        Jelaskan cara mendapatkan obat;
7)        Jelaskan pengobatan (5B);
8)        Latih klien minum obat;
9)        Masukkan dalam jadwal kegiatan harian klien.
2.     Keluarga
a.       Tujuan
Keluarga mampu merawat klien dengan halusinasi di rumah dan menjadi sistem pendukung yang efektif bagi klien.
b.      Kriteria evaluasi
1)        SP. 1
Keluarga mampu menjelaskan tentang halusinasi.
2)        SP. 2
Keluarga mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu memperagakan cara merawat klien serta mampu membuat jadwal keluarga.
3)        SP. 3
Keluarga mampu menyebutkan kegiatan yang sudah dilakukan dan mampu melaksanakan follow up rujukan.
c.       Intervensi
SP.1 K
1)      Identifikasi masalah yang dirasakan dalam merawat kllien;
2)      Jelaskan tentang :
·        Pengetahuan tentang halusinasi;
·        Jenis halusinasi yang dialami klien;
·        Tanda dan gejala halusinasi;
·        Cara merawat klien halusinasi  (cara berkomunikasi, pemberian obat, dan pemberian akifitas kepada klien).
3)      Sumber-sumber pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau;
4)      Bermain peran cara merawat klien ;
5)      Rencana tindak lanjut keluarga dan jadwal keluarga untuk merawat klien.
SP. 2 K
1)      Evaluasi kegiatan yang lalu (SP. 1 K);
2)      Latih keluarga merawat klien;
3)      Susun jadwal keluarga untuk merawat klien.
SP. 3 K
1)      Evaluasi kemampuan keluarga;
2)      Evaluasi kemampuan klien;
3)      Rencanakan follow up secara berkala.

Demikian artikel mengenai Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi, semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan baru dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa. Tidak lupa penulis mengajak para pengunjung nursipedia untuk berdiskusi di kolom komentar serta Jangan lupa untuk like dan kunjungi fan page kami di Blog Keperawatan untuk mendapatkan info seputar keperawatan.

0 Response to "Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Gangguan Sensori Persepsi Halusinasi"

Posting Komentar

Berlangganan

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

Blog Keperawatan di Facebook

Followers