Bunuh diri merupakan kematian yang diperbuat oleh sang pelaku
sendiri secara sengaja (Haroid I. Kaplan & Berjamin J. Sadock, 1998). Bunuh
diri adlah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan (Budi Anna kelihat, 1991). Perlaku destruktif diri yaitu setiap
aktifitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah kepada kematian (Gail Wiscara
Stuart, dan Sandra J. Sundeen, 1998).
Bunuh diri adalah perbuatan menghentikan hidup sendiri yang
dilakukan oleh individu itu sendiri atau atas permintaannya. (Wikipedia : 2011)
Setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w.Stuart,Keperawatan Jiwa,2007). Pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, Keperawatan Jiwa & Psikiatri, 2004). Ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif à sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan, Sinopsis Psikiatri,1997)
Setiap aktivitas yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian (Gail w.Stuart,Keperawatan Jiwa,2007). Pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri (Ann Isaacs, Keperawatan Jiwa & Psikiatri, 2004). Ide, isyarat dan usaha bunuh diri, yang sering menyertai gangguan depresif à sering terjadi pada remaja (Harold Kaplan, Sinopsis Psikiatri,1997)
Bunuh diri adalah, perbuatan menghentikan hidup sendiri, yang
dilakukan oleh individu itu sendiri. Namun, bunuh diri ini dapat dilakukan pula
oleh tangan orang lain. Misal : bila si korban meminta seseorang untuk
membunuhnya, maka ini sama dengan ia telah menghabisi nyawanya sendiri. Dimana,
Menghilangkan nyawa, menghabisi hidup atau membuat diri menjadi mati oleh sebab
tangan kita atau tangan suruhan, adalah perbuatan-perbuatan yang termasuk
dengan bunuh diri. Singkat kata, Bunuh diri adalah tindakan menghilangkan nyawa
sendiri dengan menggunakan segala macam cara.
2.
ETIOLOGI
Penyebab perilaku bunuh diri dapat dikategorikan sebagai
berikut :
2.1. Faktor
genetic
Ada
yang berpikir bahwa bawaan genetik seseorang dapat menjadi faktor yang tersembunyi
dalam banyak tindakan bunuh diri. Memang gen memainkan peranan dalam menentukan
temperamen seseorang, dan penelitian menyingkapkan bahwa dalam beberapa garis
keluarga, terdapat lebih banyak insiden bunuh diri ketimbang dalam garis
keluarga lainya. Namun, “kecenderungan genetik untuk bunuh diri sama sekali
tidak menyiratkan bahwa bunuh diri tidak terelakan”. kata Jamison.
Kondisi
kimiawi otak pun dapat menjadi faktor yang mendasar. Dalam otak. miliaran
neuron berkomunikasi secara elektrokimiawi. Di ujung-ujung cabang serat syaraf,
ada celah kecil yang disebut sinapsis yang diseberangi oleh neurotransmiter
yang membawa informasi secara kimiawi. Kadar sebuah neurotransmiter, serotonin,
mungkin terlibat dalam kerentanan biologis seseorang terhadap bunuh diri. Buku
Inside the Brain menjelaskan, “Kadar serotonin yang rendah… dapat melenyapkan
kebahagiaan hidup, mengurangi minat seseorang pada keberadaanya serta
meningkatkan resiko depresi dan bunuh diri.”. Akan tetapi, faktor genetik tidak
bisa dijadikan alasan yang mengharuskan seseorang untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
2.2. Faktor
kepribadian
Salah
satu faktor yang turut menentukan apakah seseorang itu punya potensi untuk
melakukan tindakan bunuh diri adalah faktor kepribadian. Para ahli mengenai
soal bunuh diri telah menggolongkan orang yang cenderung untuk bunuh diri
sebagai orang yang tidak puas dan belum mandiri, yang terus-menerus meminta,
mengeluh, dan mengatur, yang tidak luwes dan kurang mampu menyesuaikan diri.
Mereka adalah orang yang memerlukan kepastian mengenai harga dirinya, yang
akhirnya menganggap dirinya selalu akan menerima penolakan, dan yang
berkepribadian kekanak-kanakan, yang berharap orang lain membuat keputusan dan
melaksanakannya untuknya (Doman Lum).
Robert
Firestone dalam buku Suicide and the Inner Voice menulis bahwa mereka yang
mempunyai kecenderungan kuat untuk bunuh diri, banyak yang lingkungan
terkecilnya tidak memberi rasa aman, lingkungan keluarganya menolak dan tidak
hangat, sehingga anak yang dibesarkan di dalamnya merasakan kebingungan dalam
menghadapi kehidupan sehari-hari.
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut faktor predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang demikian, dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku bunuh diri sebenarnya bukanlah seperti masalah-masalah yang telah disebutkan di atas (ekonomi, putus cinta, penderitaan, dan sebagainya). Sebab masalah-masalah tersebut hanyalah faktor pencetus/pemicu (faktor precipitasi). Penyebab utamanya adalah faktor predisposisi.
Pengaruh dari latar belakang kehidupan di masa lampau ini disebut faktor predisposesi (faktor bawaan). Dengan memahami konteks yang demikian, dapatlah kita katakan bahwa akar masalah dari perilaku bunuh diri sebenarnya bukanlah seperti masalah-masalah yang telah disebutkan di atas (ekonomi, putus cinta, penderitaan, dan sebagainya). Sebab masalah-masalah tersebut hanyalah faktor pencetus/pemicu (faktor precipitasi). Penyebab utamanya adalah faktor predisposisi.
Menurut
Widyarto Adi Ps, seorang psikolog, seseorang akan jadi melakukan tindakan bunuh
diri kalau faktor kedua, pemicu (trigger)-nya, memungkinkan. Tidak mungkin ada
tindakan bunuh diri yang muncul tiba-tiba, tanpa ada faktor predisposisi sama
sekali. Akumulasi persoalan fase sebelumnya akan terpicu oleh suatu peristiwa
tertentu.
2.3. Faktor
psikologis
Faktor
psikologis yang mendorong bunuh diri adalah kurangnya dukungan sosial dari
masyarakat sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara yang
menyebabkan trauma psikologis, dan konflik berat yang memaksa masyarakat
mengungsi. Psikologis seseorang sangat menentukan dalam persepsi akan bunuh
diri sebagai jalan akhir/keluar. Dan psikologis seseorang tersebut juga sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor tertentu juga.
2.4. Faktor
ekonomi
Masalah
ekonomi merupakan masalah utama yang bisa menjadi faktor seseorang melakukan
tindakan bunuh diri. Ekonomi sangat berpengaruh dalam pemikiran dan kelakuan
seseorang. Menurut riset, sebagian besar alasan seseorang ingin mengakhiri
hidupnya/ bunuh diri adalah karena masalah keuangan/ekonomi. Mereka
berangggapan bahwa dengan mengakhiri hidup, mereka tidak harus menghadapi
kepahitan akan masalah ekonomi. Contohnya, ada seorang ibu yang membakar
dirinya beserta ananknya karena tidak memiliki uang untuk makan. Berdasarkan
contoh tersebut, para pelaku ini biasanya lebih memikirkan menghindari
permasalahan duniawi dan mengakhir hidup.
2.5. Gangguan
mental dan kecanduan
Gangguan
mental merupakan penyakit jiwa yang bisa membuat seseorang melakukan tindakan
bunuh diri. Mereka tidak memikirkan akan apa yang terjadi jika menyakiti dan
mengakhiri hidup mereka, karena sistem mental sudah tidak bisa bekerja dengan
baik. Selain itu ada juga gangguan yang bersifat mencandu, seperti depresi,
gangguan bipolar, scizoprenia dan penyalahgunaan alkohol atau narkoba.
Penelitian di Eropa dan Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 90
persen bunuh diri yang dilakukan berkaitan dengan gangguan-gangguan demikian.
Bahkan, para peneliti asal Swedia mendapati bahwa di antara pria-pria yang
tidak didiagnosis menderita gangguan apapun yang sejenis itu, angka bunuh diri
mencapai 8,3 per 100.000 orang, tetapi di antara yang mengalami depresi,
angkanya melonjak menjadi 650 per 100.000 orang! Dan, para pakar mengatakan
bahwa faktor-faktor yang mengarah ke bunuh diri ternyata serupa dengan yang di
negeri-negeri timur. Namun, sekalipun ada kombinasi antara depresi dan
peristiwa -peristiwa pemicu, itu bukan berarti bunuh diri tidak bisa dielakan.
3.
JENIS
TENTAMEN SUICIDE
Jenis tentamen suicide antara lain :
3.1. Ancaman
Bunuh Diri
Peringatan
verbal atau nonverbal bahwa orang tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri.
Orang tersebut mungkin menunjukkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di
sekitar kita lebih lama lagi atau mungkin juga mengkomunikasikan secara
nonverbal melalui pemberian hadiah, merevisi wasiatnya dan sebagainya.
Pesan-pesan ini harus dipertimbangkan dalam konteks peristiwa kehidupan
terakhir. Ancaman menunjukkan ambivalensi seseorang tentang kematian. Kurangnya
respon positif dapat ditafsirkan sebagai dukungan untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
3.2. Upaya
bunuuh diri
Semua
tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat
mengarah kematian jika tidak dicegah.
3.3. Bunuh diri
Bunuh
diri mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang
yang melakukan upaya bunuh diri dan yang tidak benar-benar ingin mati mungkin
akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya.
4.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari tentamen sucicide tergantung dari tipe
percobaan bunuh diri yang dilakukan pasien, tindakan yang paling umum dilakukan
klien dalam upaya bunuh diri adalah dengan sengaja mengonsumsi zat aditif atau
bahan beracun, memutus nadi pergelangan tangan, penenggelaman, dan lain
sebagainya.
Pada klien dengan gantung diri akan mengalami kekurangan
oksigen hebat sehingga dapat terjadi kematian, Kerusakan akibat asfiksia
disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan oksigen. Kegagalan ini
diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar oksigen dalam
darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan mekanisme
kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang
paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya
aliran darah ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam
10-20 detik.
Jika PO2 jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob
berhenti dan metabolisme anaerob berlangsung dengan pembentukan asam laktat. 6,7.
Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat
ketidakseimbangan fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme
kompensasi. Hipoksemia ringan menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan
ringan dari status mental dan ketajaman penglihatan, kadang-kadang
hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90% ketika PO2 hanya
60 mmHg.
Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan
kepribadian, agitasi, inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor
dan koma. Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit
menjadi dingin (oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan
ringan dari tekanan darah.
Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi,
perdarahan retina dan kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi
biasanya merupakan stadium preterminal pada orang dengan hipoksemia,
mengindikasikan kegagalan mekanisme kompensasi. Kehilangan oksigen bisa
bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Hipoksia dapat diberi batasan
sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat melangsungkan metabolisme
secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia yang setelah
dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam
kenyataan seahri-hari merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut
adalah:
4.1 Hipoksik-hipoksia
(dahulu anoksik-anoksia)
Keadaan
dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai
aliran darah , misalnya pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam
tambang atau pada tempat yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang.
4.2 Stagnan-hipoksia
(dahulu stagnant circulatory anoxia), Terjadi karena gangguan sirkulasi darah
(embolism)
4.3 Anemik-hipoksia
(dahulu anemic anoxia), Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa
karena volume darah yang kurang
4.4 Histotoksik-hipoksia
(dahulu histotoxic tissue anoxia), Pada keadaan ini sel-sel tidak dapat
mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat disebabkan oleh faktor-faktor
berikut:
a. Extra
celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan
HCN, barbiturate dan
obat-obat hypnotic. Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga
sel-sel mati. Sedangkan barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system
cytochrome enzim yang terganggu, maka jarang menimbulkan kematian sel kecuali
pada overdosis.
b. Intra
celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane, seperti yang
terjadi pada pemberian obat-obat anesthesia yang larut dalam lemak (chloroform,
ether, dll)
c. Metabolit:
sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang, misalnya pada uremia dan keracunan
CO2
d. Substrat:
bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang. Misalnya pada
hipoglikemia.
Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu:
a. Fase
Dispneu.
Pada fase ini
terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan CO2 dalam
plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat
amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah
meninggi, dan mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.
b. Fase
Konvulsi.
Akibat kadar CO2
yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat sehingga
terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi
kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil
mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek
ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat
kekurangan O2.
c. Fase
Apneu.
Pada fase ini,
terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan dapat
berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi
pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja.
d. Fase
Akhir.
Terjadi paralisis
pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis
otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah
pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian
sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.
Fase
1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan
O2. Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan
tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Stadium asfiksia adalah
a. Stadium
pertama.
Gejala
yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan berat. Kadar CO2 yang
meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dalam (frekuensi pernapasan
meningkat), nadi menjadi cepat, tekanan darah meningkat, muka dan tangan
menjadi agak biru.
b. Stadium
kedua.
Gejala
yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti di vena dan
kapiler sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik (petechie), kesadaran
menurun, dan timbul kejang.
c. Stadium
ketiga.
Gerakan
tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan berhenti, pingsan,
muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan meninggal dunia. Korban laki-laki
dapat mengeluarkan mani dan korban wanita mengeluarkan darah dari vagina.
Dari
pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua golongan :
a. Primer
(akibat langsung dari asfiksia)
Kekurangan
oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia.
Sel – sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa yang terjadi pada
sel yang kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya
perubahan elektrolit dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium
mengakibatkan terjadinya retensi air dan gangguan metabolisme. Di sini sel –
sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial. Akson yang rusak akan
mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan
parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali
akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel
glia.
Bila
orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum
meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel – sel serebrum, serebelum dan
ganglia basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya
tidak spesifik dan dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada
organ tubuh yang lain yakni jantung, paru – paru, hati, ginjal dan yang lainnya
perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.
b. Sekunder
(berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung
berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi
outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam
darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal
jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :
a. Penutupan
mulut dan hidung (pembekapan)
b. Obstruksi
jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus
alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara
masuk ke paru – paru
c. Gangguan
gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic asphyxia)
d. Penghentian
primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada
keracunan.
Pada klien dengan kasus bunuh diri dengan cara memotong urat
nadi yang dilakukan di pergelangan tangan biasanya akan mengalami syok
hipovolemia. Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan cara
mengaktifkan 4 sistem major fisiologi tubuh: sistem hematologi, sistem
kardiovaskular, sistem renal dan sistem neuroendokrin.system hematologi
berespon kepada perdarahan hebat yag terjadi secara akut dengan mengaktifkan
cascade pembekuan darah dan mengkonstriksikan pembuluh darah (dengan melepaskan
thromboxane A2 lokal) dan membentuk sumbatan immatur pada sumber perdarahan.
Pembuluh darah yang rusak akan mendedahkan lapisan kolagennya, yang secara
subsekuen akan menyebabkan deposisi fibrin dan stabilisasi dari subatan yang
dibentuk. Kurang lebih 24 jam diperlukan untuk pembentukan sumbatan fibrin yang
sempurna dan formasi matur.
Sistem kardiovaskular awalnya berespon kepada syok
hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meninggikan kontraktilitas
myocard, dan mengkonstriksikan pembuluh darah jantung. Respon ini timbul akibat
peninggian pelepasan norepinefrin dan penurunan tonus vagus (yang diregulasikan
oleh baroreseptor yang terdapat pada arkus karotid, arkus aorta, atrium kiri
dan pembuluh darah paru. System kardiovaskular juga merespon dengan
mendistribusikan darah ke otak, jantung, dan ginjal dan membawa darah dari
kulit, otot, dan GI.
System urogenital (ginjal) merespon dengan stimulasi yang
meningkatkan pelepasan rennin dari apparatus justaglomerular. Dari pelepasan
rennin kemudian dip roses kemudian terjadi pembentukan angiotensi II yang
memiliki 2 efek utama yaitu memvasokontriksikan pembuluh darah dan menstimulasi
sekresi aldosterone pada kortex adrenal. Adrenal bertanggung jawab pada
reabsorpsi sodium secra aktif dan konservasi air.
System neuroendokrin merespon hemoragik syok dengan
meningkatkan sekresi ADH. ADH dilepaskan dari hipothalmus posterior yang
merespon pada penurunan tekanan darah dan penurunan pada konsentrasi sodium.
ADH secara langsung meningkatkan reabsorsi air dan garam (NaCl) pada tubulus
distal. Ductus colletivus dan the loop of Henle. Patofisiology dari hipovolemik
syok lebih banyak lagi dari pada yang telah disebutkan . untuk mengexplore
lebih dalam mengenai patofisiology, referensi pada bibliography bias menjadi
acuan. Mekanisme yang telah dipaparkan cukup efektif untuk menjaga perfusi pada
organ vital akibat kehilangan darah yang banyak. Tanpa adanya resusitasi cairan
dan darah serta koreksi pada penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya
gagal dan terjadi kegagalan multiple organ.
5.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin muncul pada klien dengan tentamen
suicide sangat tergantung pada jenis dan cara yang dilakukan klien untuk bunuh
diri, namun resiko paling besar dari klien dengan tentamen suicide adalah
berhasilnya klien dalam melakukan tindakan bunuh diri, serta jika gagal akan
meningkatkan kemungkingan klien untuk mengulangi perbuatan tentamen suicide.
Pada klien dengan percobaan bunuh diri dengan cara meminum
zat kimia atau intoksikasi zat komplikasi yang mungkin muncul adalah diare,
pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif , sesak nafas, sianosis, edema paru
.inkontenesia urine dan feces, kovulsi, koma, blokade jantung akhirnya
meninggal. Pada klien dengan tentamen suicide yang menyebabkan asfiksia akan
menyebabkan syok yang diakibatkan karena penurunan perfusi di jaringan terutama
jaringan otak.
Pada klien dengan perdarahan akan mengalami syok hipovolemik
yang jika tidak dilakukan resusitasi cairan dan darah serta koreksi pada
penyebab hemoragik syok, kardiak perfusi biasanya gagal dan terjadi kegagalan
multiple organ.
6.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
Koreksi penunjang dari kejadian tentamen suicide akan
menentukan terapi resisitasi dan terapi lanjutan yang akan dilakukan pada klien
dengan tentamen suicide. Pemeriksaan darah lengkap dengan elektrolit akan
menunjukan seberapa berat syok yang dialami klien, pemeriksaan EKG dan CT scan
bila perlu bia dilakukan jika dicurigai adanya perubahan jantung dan perdarahan
cerebral.
7.
PENGKAJIAN
RESIKO BUNUH DIRI
b.
Memiliki riwayat satu
kali atau lebih melakukan percobaan bunuh diri.
c.
Memilki keluarga yang
memiliki riwayat bunuh diri.
d.
Mengalami depresi, cemas
dan perasaan putus asa.
e.
Memiliki ganguan jiwa
kronik atau riwayat penyakit mental
f.
Mengalami penyalahunaan
NAPZA terutama alcohol
g.
Menderita penyakit fisik
yang prognosisnya kurang baik
h.
Menunjukkan impulsivitas
dan agressif
i. Sedang mengalami
kehilangan yang cukup significant atau kehilangan yang bertubi-tubi dan secara
bersamaan
j.
Mempunyai akses terkait
metode untuk melakukan bunuh diri misal pistol, obat, racun.
k.
Merasa ambivalen tentang
pengobatan dan tidak kooperatif dengan pengobatan
l.
Merasa kesepian dan
kurangnya dukungan sosial.
Instrumen resiko klien
melakukan bunuh diri (SAD PERSONS)
NO
|
SAD PERSONS
|
Keterangan
|
1
|
Sex (jenis kelamin)
|
Laki laki lebih komit melakukan suicide 3
kali lebih tinggi dibanding wanita, meskipun wanita lebih sering 3 kali
dibanding laki laki melakukan percobaan bunuh diri
|
2
|
Age ( umur)
|
Kelompok resiko tinggi : umur 19 tahun
atau lebih muda, 45 tahun atau lebih tua dan khususnya umur 65 tahun lebih.
|
3
|
Depression
|
35 – 79% oran yang melakukan bunuh diri
mengalami sindrome depresi.
|
4
|
Previous attempts (Percobaan sebelumnya)
|
65- 70% orang yang melakukan bunuh diri
sudah pernah melakukan percobaan sebelumnya
|
5
|
ETOH ( alkohol)
|
65 % orang yang suicide adalah orang
menyalahnugunakan alkohol
|
6
|
Rational thinking Loss ( Kehilangan berpikir rasional)
|
Orang skizofrenia dan dementia lebih sering melakukan bunuh
diri disbanding general populasi
|
7
|
Sosial support lacking ( Kurang dukungan
social)
|
Orang yang melakukan bunuh diri biasanya
kurannya dukungan dari teman dan saudara, pekerjaan yang bermakna serta
dukungan spiritual keagaamaan
|
8
|
Organized plan ( perencanaan yang teroranisasi)
|
Adanya perencanaan yang spesifik terhadap bunuh diri merupakan
resiko tinggi
|
9
|
No spouse ( Tidak memiliki pasangan)
|
Orang duda, janda, single adalah lebih rentang disbanding
menikah
|
10
|
Sickness
|
Orang berpenyakit kronik dan terminal beresiko tinggi
melakukan bunuh diri.
|
Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh
diri, perawat perlu memahami petunjuk dalam melakukan wawancara dengan pasien
dan keluarga untuk mendapatkan data yang akurat. Hal – hal yang harus
diperhatikan dalam melakukan wawancara adalah :
- Tentukan
tujuan secara jelas.
Dalam
melakukan wawancara, perawat tidak melakukan diskusi secara acak, namun
demikian perawat perlu melakukannya wawancara yang fokus pada investigasi
depresi dan pikiran yang berhubungan dengan bunuh diri.
- Perhatikan
signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari
komunikasi non verbal.
Hal
ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap kecemasan dan distress yang
berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di hindari atau diabaikan.
- Kenali
diri sendiri.
Monitor dan kenali reaksi diri dalam
merespon klien, karena hal ini akan mempengaruhi penilaian profesional.
- Jangan terlalu tergesa – gesa
dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu membangun hubungan terapeutik
yang saling percaya antara perawat dank lien.
- Jangan
membuat asumsi
Jangan membuat asumsi tentang pengalaman
masa lalu individu mempengaruhi emosional klien.
- Jangan menghakimi, karena apabila
membiarkan penilaian pribadi akan membuat kabur penilaian profesional.
Data yang perlu
dikumpulkan saat pengkajian :
1.
Riwayat masa lalu :
·
Riwayat percobaan bunuh
diri dan mutilasi diri
·
Riwayat keluarga terhadap
bunuh diri
·
Riwayat gangguan mood,
penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
·
Riwayat penyakit fisik
yang kronik, nyeri kronik.
·
Klien yang memiliki
riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial
·
Klien yang sedang mengalami
kehilangan dan proses berduka
2.
Symptom yang menyertainya
a.
Apakah klien mengalami :
Ø Ide bunuh diri
Ø Ancaman bunh diri
Ø Percobaan bunuh
diri
Ø Sindrome
mencederai diri sendiri yang disengaja
b.
Derajat yang
tinggi terhadap keputusasaan, ketidakberdayaan dan anhedonia dimana hal ini
merupakan faktor krusial terkait dengan resiko bunuh diri.
Bila individu menyatakan memiliki rencana
bagaimana untuk membunuh diri mereka sendiri. Perlu dilakukan penkajian lebih
mendalam lagi diantaranya :
Ø Cari tahu rencana
apa yang sudah di rencanakan
Ø Menentukan
seberapa jauh klien sudah melakukan aksinya atau perencanaan untuk melakukan
aksinya yang sesuai dengan rencananya.
Ø Menentukan
seberapa banyak waktu yang di pakai pasien untuk merencanakan dan mengagas akan
suicide
Ø Menentukan
bagaiamana metoda yang mematikan itu mampu diakses oleh klien.
Hal – hal yang perlu
diperhatikan didalam melakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan mental
klien yang mengalami resiko bunuh diri :
Ø Memilih tempat yang tenang dan menjaga
privacy klien
Ø Mempertahankan ketenangan, suara yang tidak mengancam dan
mendorong komunikasi terbuka.
Ø Menentukan keluhan utama klien dengan menggunakan kata –
kata yang dimengerti klien
Ø Mendiskuiskan gangguan jiwa sebelumnya dan riwayat
pengobatannya
Ø Mendaptakan data
tentang demografi dan social ekonomi
Ø Mendiskusikan
keyakinan budaya dan keagamaan
Ø Peroleh riwayat
penyakit fisik klien
Diagnosa Keperawatan
Resiko Bunuh diri
Pengertian : Resiko untuk
mencederai diri yang mengancam kehidupan
Impulse Control, Suicide
Self-Restraint
Tujuan
Klien tidak melakukan
percobaan bunuh diri
Indicator
- Menyatakan
harapannya untuk hidup
- Menyatakan perasaan marah,
kesepian dan keputusasaan secara asertif.
- Mengidentifikasi orang lain
sebagai sumber dukungan bila pikiran bunuh diri muncul.
- Mengidentifikasi alaternatif
mekanisme coping
NIC
Active Listening, Coping Enhancement, Suicide
Prevention, Impulse Control Training, Behavior Management: Self-Harm, Hope
Instillation, Contracting, Surveillance: Safety
Aktivitas keperawatan secara umum :
1. Bantu klien untuk menurunkan resiko perilaku destruktif
yang diarahkan pada diri sendiri, dengan cara :
Ø Kaji tingkatan resiko yang di alami pasien : tinggi,
sedang, rendah.
Ø Kaji level Long-Term Risk yang meliputi : Lifestyle/
gaya hidup, dukungan social yang tersedia, rencana tindakan yang bisa mengancam
kehidupannya, koping mekanisme yang biasa digunakan.
2. Berikan lingkungan yang aman ( safety)
berdasarkan tingkatan resiko , managemen untuk klien yang memiliki resiko
tinggi;
Ø Orang yang ingin suicide dalam kondisi akut seharusnya
ditempatkan didekat ruang perawatan yang mudah di monitor oleh perawat.
Ø Mengidentifikasi dan mengamankan benda – benda yang dapat
membahayakan klien misalnya : pisau, gunting, tas plastic, kabel listrik,
sabuk, hanger dan barang berbahaya lainnya.
Ø Membuat kontrak baik lisan maupun tertulis dengan perawat
untuk tidak melakukan tindakan yang mencederai diri Misalnya : ”Saya tidak akan
mencederai diri saya selama di RS dan apabila muncul ide untuk mencederai diri
akan bercerita terhadap perawat.”
Ø Makanan seharusnya diberikan pada area yang mampu
disupervisi dengan catatan :
o
Yakinkan intake makanan
dan cairan adekuat
o
Gunakan piring plastik
atau kardus bila memungkinkan.
o
Cek dan yakinkan kalau semua barang yang digunakan pasien
kembali pada tempatnya.
Ø Ketika memberikan obat oral, cek dan yakinkan bahwa semua
obat diminum.
Ø Rancang anggota tim perawat untuk memonitor secara
kontinyu.
Ø Batasi orang dalam ruangan klien dan perlu adanya
penurunan stimuli.
Ø Instruksikan pengunjung untuk membantasi barang bawaan (
yakinkan untuk tidak memberikan makanan dalam tas plastic)
Ø Pasien yang masih akut diharuskan untuk
selalu memakai pakaian rumah sakit.
Ø Melakukan seklusi
dan restrain bagi pasien bila sangat diperlukan
Ø Ketika pasien sedang diobservasi,
seharusnya tidak menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya.Perlu diidentifikasi
keperawatan lintas budaya.
Ø Individu yang memiliki resiko tinggi mencederai diri
bahkan bunuh diri perlu adanya komunikasi oral dan tertulis pada semua staf.
3. Membantu meningkatkan harga diri klien
Ø Tidak menghakimi dan empati
Ø Mengidentifikasi aspek positif yang dimilikinya
Ø Mendorong berpikir positip dan berinteraksi dengan orang
lain
Ø Berikan jadual aktivitas harian yang terencana untuk
klien dengan control impuls yang rendah
Ø Melakukan terapi
kelompok dan terapi kognitif dan perilaku bila diindikasikan.
4. Bantu klien untuk
mengidentifikasi dan mendapatkan dukungan social
- Informasikan kepada keluarga dan
saudara klien bahwa klien membutuhkan dukungan social yang adekuat
- Bersama pasien menulis daftar
dukungan sosial yang di punyai termasuk jejaring sosial yang bisa di
akses.
- Dorong
klien untuk melakukan aktivitas social
5. Membantu klien
mengembangkan mekanisme koping yang positip.
- Mendorong
ekspresi marah dan bermusuhan secara asertif
- Lakukan pembatasan pada
ruminations tentang percobaan bunuh diri.
- Bantu klien untuk mengetahui
faktor predisposisi ‘ apa yang terjadi sebelum anda memiliki pikiran bunuh
diri’
- Memfasilitasi
uji stress kehidupan dan mekanisme koping
- Explorasi
perilaku alternative
- Gunakan
modifikasi perilaku yang sesuai
- Bantu
klien untuk mengidentifikasi pola piker yang negative dan mengarahkan
secara langsung untuk merubahnya yang rasional.
7. Initiate Health Teaching dan rujukan, jika diindikasikan
Ø Memberikan
pembelajaran yan menyiapkan orang mengatasi stress (relaxation, problem-solving
skills).
Ø Mengajari keluarga technique limit setting
Ø Mengajari keluarga ekspresi perasaan yang konstruktif
Ø Intruksikan
keluarga dan orang lain untuk mengetahui peningkatan resiko : perubahan
perilaku, komunikasi verbal dan nonverbal, menarik diri, tanda depresi.
Demikian artikel
mengenai Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Bunuh Diri (Tentamen
Suicide), semoga artikel ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan baru dalam
memberikan asuhan keperawatan jiwa. Tidak lupa penulis mengajak para pengunjung
nursipedia untuk berdiskusi di kolom komentar serta Jangan lupa untuk like dan
kunjungi fan page kami di Blog Keperawatan untuk mendapatkan info seputar keperawatan.
0 Response to "Asuhan Keperawatan Jiwa pada Klien dengan Bunuh Diri (Tentamen Suicide)"
Posting Komentar